SIDIK SAKTI INDRA WASPADA

Jumat, 30 April 2010

undang-undang narkotika terbaru no 35 tahun 2009

UU narkotika yang disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari UU No. 22/1997 tentang narkotika. Pemerintah menilai UU No. 22/1997 tidak dapat mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara substansial, UU Narkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan UU terdahulu, kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar.

I. Adanya Pembatasan Penyimpanan Narkotika

Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan narkotika untuk jenis dan golongan apapun. Pihak yang diperbolehkan melakukan penyimpanan hanya terbatas pada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuaan.

Hal ini sangat menyulitkan pengguna narkotika yang sedang melakukan pemulihan, dimana para pengguna harus mengunjungi tempat-tempat tertentu. Pembatasan ini memungkinkan para pengguna narkotika untuk mendapatkan narktotika secara ilegal.

II. Pengobatan dan Rehabiltasi

Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan bukti yang sah .

Melalui UU No. 35/2009, para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tidak lagi diberikan kebebasan dan atas kehendak sendiri untuk sembuh. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi social menjadi kewajiban bagi para pecandu.

UU No. 35/2009 juga mewajibkan pecandu narkotika untuk melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga.

Rehabiltasi medis dan sosial selain dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah ataupun masyarakat yang akan diatur dalam peraturan menteri . Pertanyaannya, apakah lembaga-lembaga yang memberikan pendampingan terhadap pecandu dapat dikategorikan sebagai tempat pihak yang melakukan rehabiltasi medis dan sosial?

III. Kewenangan BNN dan Penyelidikan

UU No. 35/2009 memberikan porsi besar bagi BNN. Salah satu kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prusukor narkotika. Selain itu BNN dapat mempergunakan masyarakat dengan cara memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas mereka untuk melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika dengan cara memberdayakan anggota masyarakat.

Dalam hal melakukan pemberantasan narkotika, BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika beserta dengan kewenangan yang dimilki penyelidik dan penyidik seperti penangkapan selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 3×24 jam ditambah penyadapan.

Pemberiaan kewenagan yang besar terhadap BNN, khususnya menjadikan BNN sebagai penyidik menimbulkan pertanyaan, apakah karena pihak kepolisiaan dinilai tidak bisa melakukan pengusutan terhadap tindak pidana narkotika dengan baik, kemudian kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan diberikan kepada BNN?

Porsi kewenangan BNN yang terlalu besar seperti dalam penahanan dan penggeledahan yang tidak dimiliki oleh penyidik kepolisiaan akan menimbulkan permasalahan secara kelembagaan, dan rasa persamaan hukum bagi tersangka yang diperiksa di BNN dan kepolisian.

IV. Putusan Rehabiltasi bagi para pecandu Narkotika

Walaupun prinsip dalam UU No. 35/2009 adalah melakukan rehabilitasi bagi para pecandu narkotika, tetapi dalam UU ini masih menggunakan kata “dapat” untuk menempatkan para pengguna narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabiltasi. Hakim juga diberikan wewenang kepada pecandu yang tidak bermasalah melakukan tidak pidana narkotika untuk ditetapkan menjalani pengobatan dan rehabiltasi. Ketentuan tersebut menimbulkan pertanyaan:

- Apakah penggunaan kata “dapat” menjadi suatu acuan mutlak agar hakim untuk memutus atau menetapkan pecandu narkotika menjalani proses rehabilitasi?
- Apakah penerapan penjalanan pengobatan dan rehabiltasi juga diterapkan di tingkatan penyidikan dan penuntutan?

V. Peran Serta Masyarakat

Selain memberikan kewengan yang besar terhadap penegak hukum, khususnya BNN, UU No. 35/2009 juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika. Masyarakat dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Dalam UU ini masyarakat tidak diberikan hak untuk melakukan penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap pecandu narkotika.

Peran serta masyarakat yang dikumpulkan dalam suatu wadah oleh BNN dapat menjadi suatu ketakutan tersendiri karena masyarakat mempunyai legitimasi untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan oleh Undang-Undang.

VI. Ketentuan Pidana

UU No. 35/2009 memiliki kencederuangan mengkriminalisasi orang, baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat dengan mencantumkan ketentuan pidana sebanyak 39 pasal dari 150 pasal yang diatur dalam UU tersebut.

UU No. 35/2009 menggunakan pendekatan pidana untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika. Penggunaan pidana masih dianggap sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti agar tidak terjadinya penggunaan narkotika. Hal tersebut didukung dengan diberikannya suatu keweangan yang besar bagi BNN yang bermetafora menjadi institusi yang berwenang untuk melakukan penyadaran kepda masyarakat, melakukan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan dalam tindak pidana narkotika.

Lebih jauh, menilai ketentuan pidana yang diatur di dalam UU No. 35/2009 sebagai berikut:

a. Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam Tindak Pidana narkotika
Penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam beberapa pasal UU No. 35/2009 dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan tindak pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuaan.

b. Penggunaan sistem pidana minimal
Penggunaan sistem pidana minimal dalam UU No. 35/2009 memperkuat asumsi bahwa UU tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan narkotika. Penggunaan pidana minimal juga akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun di dalam prakteknya, hakim dapat menjatuhkan putusan kurang dari pidana minimal dan hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung.

c. Kriminalisasi Bagi orang tua dan masyarakat
UU No. 35/2009 memberikan ancaman hukuman pidana (6 bulan kurungan) bagi orang tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Meskipun unsur ’kesengajaan tidak melapor’ tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika.

UU No. 35/2009 juga menuntut agar setiap orang melaporkan tindak pidana narkotika. UU ini memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika. Penerapan pasal ini akan sangat sulit diterapkan karena biasanya pasal ini digunakan bagi pihak-pihak yang ditangkap ketika berkumpul dengan para pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan suatu tindak pidana narkotika. Pasal ini juga mengancam para pihak yang mendampingi komunitas pecandu narkotika.

Pada ketentuaan peran serta masyarakat dalam BAB XIII masyarakat tidak diwajibkan untuk melaporkan jika mengetahui adanya penyalahgunaan narkotika atau peredaran gelap narkotika. Ketentuan ini menunjukan ketidak singkronan antara delik formal dengan delik materiil.

d. Persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai
UU No. 35/2009 menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tidak pidana selesai dengan pelaku tidak pidana percobaan. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana tersebjut terjadi, sehingga akibat tindak pidana tersebut tidak selesai, sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan.